9.07.2010

Sekolah Toge

Hari itu, anak-anak di Kampung Aspen belajar berkebun. Mama Kety dan Mama Ana membimbing mereka merendam dan menyemai biji-biji kacang hijau dalam mangkuk. Esok harinya biji kacang hijau telah berganti wujud menjadi toge (tauge). Ah itu sih biasa, anak-anak setiap hari melihat mamanya memproduksi toge di rumah. Tapi serentak mereka bertanya-tanya ketika gelas-gelas plastik bekas kemasan air mineral dibagikan ke mereka. Mama Kety dan Mama Ana kemudian memandu mereka mengisi gelas plastik itu dengan tanah. Satu persatu jemari anak-anak memasukkan toge dalam gelas. Esoknya, setiap sebelum belajar, mereka menyiram air ke gelas itu dengan tangan kecil mereka. Daun-daun tumbuh satu persatu, anak-anak mengamati dengan antusias. Seminggu kemudian, daun-daun tumbuh rimbun di dalam gelas mereka, batangnya pun makin tinggi. Inilah toge yang telah kita tanam, anak-anak bersorak gembira. Beberapa polibag telah disiapkan untuk memindahkan pohon kecil toge. Lalu mereka bernyanyi lagu ambil bibit toge, kita tanam sama-sama....

“Mama bapa..., kita sudah belajar toge di sekolah, suatu saat nanti kita akan tanam pohon agar halaman belakang rumah kita tidak longsor lagi!”.

Tak Ada Sekolah Murah

Mama Yohana merasa sedih karena hari ini sekali lagi anaknya tidak bisa masuk sekolah TK. Ia sudah berusaha keras menyisihkan setiap uang pemberian suaminya yang seorang buruh bangunan, namun tetap saja tak cukup untuk membayar biaya sekolah anaknya. TK negeri memintanya membayar Rp 800 ribu untuk biaya pendaftaran, dan Rp 50 ribu untuk biaya bulanan. Sementara TK swasta mematok biaya pendaftaran Rp 2 juta hingga 3 juta dan biaya bulanan rata-rata Rp 100 ribu . Mama Yohana kecewa, dan memutuskan lebih baik anak-anak kecilnya tinggal di rumah saja sambil menunggu cukup usia untuk masuk SD. Ia tahu biaya masuk SD juga tak sedikit, tapi ia berpikir masih banyak waktu untuk mengumpulkan uang sampai tahun depan!

Relawan Guru alias Fasilitator

9.04.2010

Bukan Sekedar Main-main Lho

Toki-toki papan jelek, untuk apa? Hei anak-anak bantu angkat papan ya. Siapa yang biasa toki-toki papan di rumah? Bapak! Tapi mari kita lihat, mama juga bisa toki papan kan? Kita mau buat jembatan kecil untuk anak-anak belajar jalan di atas titian dengan mata tertutup. Awas, di bawah itu air sungai yang dingin. Haha.. Itu hanya tipu-tipu, tapi coba bayangkan di bawah itu ada hewan-hewan sungai. Hmm, lihat satu persatu mereka berjingkat menyusuri papan dengan mata ditutup kain, jaga diri agar tidak jatuh ke sungai. Gembira sekali! Mama-mama ikut berteriak jadi suporter.

Tapi itu bukan sekedar bermain lho, Anak-anak sedang belajar imajinasi, konsentrasi, keseimbangan dan aktivasi otak tengah. Mama-mama mulai mengerti bahwa main puzzle juga bermanfaat untuk melatih otak kiri anak, sehingga nantinya anak-anak lancer bealajr matematika, melakukan analisa, dan ambil keputusan. Jadi ayo ayo kita bermain sambil belajar!

Aksi Sederhana

Kami memulai dengan mengajak anak-anak belajar menyanyi dan menari. Ternyata anak-anak sangat antusias, sehingga pada hari pertama yang hanya diikuti oleh 6 orang anak, bertambah pada hari selanjutnya hingga kini menjadi 56 orang (mayoritas asli papua). Kami tidak membatasi etnis dan agama, untuk mengenalkan anak-anak dengan pergaulan multikultur dan toleransi beragama. Kegiatan dilakukan di 3 tempat, yaitu di Kampung Pisang, ampung Malanu Arter, dan Kampung Aspen. Proses belajar dilakukan di ruangan yang kecil, lesehan di atas tikar (tanpa bangku dan kursi), dengan sebuah papan tulis dan beberapa alat belajar sederhana. Alat musik dan mainan bercorak papua lebih diutamakan untuk mengenalkan budaya dan potensi lokal kepada anak-anak.

Kini Bunga Papua melakukan proses pembelajaran dengan anak-anak usia 4 hingga 6 tahun, berjumlah 56 orang. Dengan komposisi 35 anak laki-laki dan 21 perempuan. Agar efektif, mereka dibagi dalam dua kelas, kelas kecil dan kelas besar.

Ilmu itu indah, belajar itu menyenangkan

Pada Awalnya...

Dalam rentang tahun 2005-2008, kami pernah mengorganisir 32 orang anak Papua usia 10 hingga 19 tahun dalam satu sanggar seni budaya. Hampir semua anak-anak ini secara alami berbakat seni dan memiliki musikalitas yang sangat baik. Tapi dari anak-anak itu, 9 orang drop out SMP, 4 anak tidak selesai SD, 11 orang tidak tamat SMA, dan hanya 5 orang berhasil lulus SMA. Anak-anak ini bukan tinggal di pedalaman jauh yang sulit mengkakses sekolah, melainkan bersama keluarganya mereka menghuni kampung-kampung marjinal di perkotaan Sorong.

Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, di hadapan biaya sekolah yang semakin tinggi, membuat anak-anak ini terabaikan pendidikannya. Pendidikan bukanlah kebutuhan utama, ditambah lagi, kesibukan yang luar biasa untuk mencari nafkah telah membuat banyak orang tua menganggap bahwa anak sekedar tumbuh secara fisik, cukuplah sudah. Selain itu menurut para orang tua, anak-anak sendiri kurang berminat pergi sekolah, dan lebih suka menghabiskan harinya untuk bermain sesuka hati. Orang tua bersikap permisif terhadap kebiasaan ini, sehingga sepanjang tahun semakin banyak saja anak muda drop out,an pada gilirannya terbentuklah lingkungan “tidak suka sekolah” yang terwariskan dari generasi ke generasi.

Melihat kondisi di atas, kami mencoba melakukan sebuah upaya perubahan, yang dimulai dari hal kecil dan sederhana. Sebuah sanggar belajar untuk anak-anak bernama Bunga Papua di dirikan untuk mengenalkan proses belajar dan menanamkan cinta “sekolah” kepada anak-anak sejak dini. Bunga Papua juga mengundang para orang tua dalam diskusi rutin untuk membahas proses, memaknai, dan menentukan arah pendidikan di sanggar. Para orang tua adalah komite pendidikan di Bunga Papua, ikut memiliki sanggar belajar dan mengontrolnya. Secara bertahap diharapkan proses diskusi akan berdampak pada perubahan pola pikir terhadap pendidikan anak. Bahwa pendidikan bukan hal yang terberi, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Harus ditumbuhkan keyakinan bahwa hanya dengan pendidikan, kehidupan manusia Papua akan menjadi lebih baik.

Tujuan dan CIta-cita

TUJUAN
# Membudayakan sekolah kepada komunitas papua yang marginal, sehingga mampu secara maksimal memanfaatkan kebijakan wajib belajar pendidikan gratis serta peluang Otonomi Khusus Papua, demi masa depan yang lebih baik.
# Memanfaatkan masa “emas” kanak-kanak untuk meletakkan dasar-dasar karakter dan minat dengan melakukan proses belajar tentang pengetahuan sederhana, metode berpikir yang rasional, mengenali potensi diri, mengembangkan rasa percaya diri, serta pengenalan segi-segi moral yang positif.
# Mengoptimalkan peran orang tua dalam proses pembelajaran anak dengan cara melibatkan dalam pembahasan materi, mengatur jadwal belajar, merencanakan keberlanjutan kegiatan, dan membahas pentingnya pendidikan anak

CITA CITA
# Anak-anak lebih percaya diri, memiliki wawasan dasar lebih luas, siap memasuki sekolah formal dengan kapasaitas yang memadai, dan pergi sekolah dengan gembira
# Orang tua menyadari pentingnya pendidikan, melibatkan diri secara aktif dalam keberlanjutan pendidikan, menghilangkan pola kekerasan dan pembiaran pada anak, dan memberi motivasi pada anak untuk pergi ke sekolah